DISTRIBUSI
PENDAPATAN LEWAT ZAKAT UNTUK MENGATASI KEMISKINAN DI INDONESIA
MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas matakuliah
Ekonomi
Pembangunan
yang
dibina oleh Bapak Bahtiar Fitanto, SE., MT.
Oleh
Achmad
Afif Hajid Nasrullah
105020101111002
JURUSAN
ILMU EKONOMI
FAKULTAS
EKONOMI & BISNIS
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
Januari
2012
Pengantar
Indonesia dengan penduduk
sekitar 240 juta masih termasuk dalam kelompok negara dunia ketiga atau negara
berkembang. Banyak orang menyebut negeri ini penuh dengan kekayaan alamnya,
melimpah begitu sangat hingga dinobatkan sebagai negara dengan penghasilan alam
terbesar di dunia.
Dikatakan demikian bukan
tanpa dasar, selalu ada alasan orang untuk mengungkapkan Indonesia adalah yang
terbaik hasil alamnya. Namun, masalah sosial yang pelik kerap mewarnai
belantika kehidupan masayarakat Indonesia. Salah satunya adalah kemiskinan. Hal
ini menjelma menjadi masalah klasik yang selalu membuat rezim pemerintahan
manapun yang berperan sebagai pejabat publik di Indonesia sulit
mengentaskannya.
Mulai dari zaman
penjajahan. Belanda dan Jepang telah menghancurkan mental bangsa Indonesia
hingga kebanyakan masyarakatnya bermental tempe. Untung saja ditengah
penjajahan itu muncul tokoh-tokoh yang bisa membuat perubahan. Sebut saja Ir.
Soekarno, dengan semangat revolusinya beliau mampu melecutkan daya juang pada
diri setiap orang, lalu Ki Hajar Dewantara dengan perhatian pada dunia
pendidikan sanggup membuka cakrawala pemikiran manusia Indonesia untuk maju
meninggalkan kebodohan.
Era orde lama berjalan
dengan sedikit kompleks, salah satunya diwarnai dengan maraknya kelompok
komunis di daerah yang coba merubah ideologi Pancasila dengan ideologi
komunisnya. Kemiskinan kala itu masih menggelayuti atap-atap rumah kebanyakan
orang. Dilanjutkan dengan kepemimpinan Soeharto di era orde baru, angin segar sempat
berhembus dengan murahnya harga-harga bahan pokok terutama bahan pangan di
pasaran. Namun, angin segar itu di selimuti dengan praktek KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) sejumlah pejabat publik yang tak lama kemudian
mengantarkan rezim orde baru itu berakhir dengan mengenaskan.
Kini era reformasi
berjalan, tapi tetap saja tak mampu berbuat banyak soal pengentasan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi saja yang dibanggakan. Trasnsaksi di pasar modal dan pasar
uang saja yang di perhatikan. Apa gunanya pertumbuhan ekonomi jika masih sangat
banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Apa
manfaatnya gejolak di pasar modal maupun pasar uang jika isinya melulu hanya
spekulasi-spekulasi yang berdampak pada tingginya tingkat inflasi, pengangguran
dan kemiskinan. Saya suatu waktu sempat melihat acara gurauan di televisi, “Apa
langkah Bapak untuk memajukan Indonesia?”, tanya seseorang yang berperan
sebagai wartawan, “Saya akan memberantas kemiskinan, orang-orang yang hidup di
bawah garis kemiskinan akan saya tingkatkan untuk hidup di pas garis
kemiskinan.”, jawab seseorang yang berperan laiknya pejabat negara itu. Hal
tersebut setidaknya mencerminkan kurang maksimalnya upaya pemerintah untuk mengurusi
masalah kemiskinan yang telah lama mencekik rakyat kecil Indonesia.
Negeri dengan penduduk
mayoritas muslim ini tampaknya kurang memiliki sense of belonging terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya. Jika
menengok realita yang disuguhkan, ironis sekali, umpama seekor tikus yang mati
di lumbung padi. Kemiskinan yang selalu saja terulang tiap waktunya berujung
pada kelaparan rakyat. Kelaparan laiknya telah menjadi “kawan sejati” bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia. Dan jika telah mencapai klimaksnya, bukan
hal aneh lagi di saat kita sama-sama melihat tragedi kematian disebabkan karena
faktor kelaparan. Dus, solusi dari
kasus ini perlu dicari, dan salah satu solusi dari banyak solusi yang
ditawarkan kemudian adalah dengan distribusi pandapatan melalui zakat.
1. Zakat
di Indonesia
a. Pengertian
Zakat
Muhammad Shalih al-Utsaimin
(2008:45) memberikan pengertian,
Zakat
menurut bahasa artinya bertambah dan berkembang. Setiap sesuatu yang bertambah
jumlahnya atau berkembang ukurannya dinamakan zakat. Dikatakan, Zakazzar’u apabila tanaman itu
berkembang dan bagus. Adapun secara syara’ yaitu beribadah kepada Allah SWT
dengan mengeluarkan bagian wajib secara syara’ dari harta tertentu dan
diberikan kepada sekelompok atau instansi (zakat) tertentu.
Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim belum
semuanya paham dan sadar betul akan kewajibannya untuk mengeluarkan zakat.
Terdapat macam-macam bentuk zakat yang jamak didengar di Indonesia, antara lain
:
1.
Zakat
Profesi, yakni zakat yang dikeluarkan oleh setiap individu dari penghasilan
pekerjaannya selama satu tahun.
2.
Zakat
Mal, yakni zakat yang dikeluarkan oleh setiap individu dari harta yang
dimilikinya.
3.
Zakat
Fitrah, yakni zakat yang dikeluarkan saat sebelum perayaan Idul Fitri.
Dari
ketiga macam zakat ini, zakat yang paling banyak dipahami oleh kebanyakan orang
adalah zakat fitrah saja. Sementara dua lainnya tidak banyak dipahami
masyarakat. Padahal masih banyak lagi
macam zakat yang disayariatkan oleh agama. Hal inilah yang menyebabkan
kurang begitu dirasakan manfaatnya dari zakat kini. Potensi zakat di Indonesia
sangat besar, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)
menyebut potensi zakat yang bisa dihimpun di Indonesia mencapai Rp217 triliun
per tahun, namun saat ini baru bisa dihimpun Rp1,5 triliun. Ini bukti bahwa potensi zakat
itu belum digali secara maksimal.
b. Tantangan
Zakat
Menurut
M. Arifin Purwakananta (2008:24) ada lima tantangan yang dihadapi lembaga zakat
di Indonesia sehingga tidak mampu menggali potensi zakat itu secara maksimal,
antara lain :
1.
Institutional
Buliding (Pembangunan Kelembagaan)
2.
Tatanan
Zakat Nasional
3.
Ketiadaan
Insentif Negara terhadap Gerakan Kemasyarakatan
4.
Jaringan
itu Sendiri
5.
Konsistensi
Jika
dilihat dari kelima tantangan di atas, kecuali nomor tiga, tantangan tersebut
berasal dari dalam “tubuh” lembaga itu sendiri. Masalah sumberdaya manusia dan
standard operasional masih menjadi kelemahan serius bagi kelembagaan zakat di
Indonesia. Kemudian banyaknya institusi zakat yang ada dan tidak mau bersinergi
bersama juga menghambat terbentuknya kekuatan besar untuk memaksimalkan potensi
zakat. Dan penghambat terakhir adalah hal yang klasik, yakni konsistensi.
Lembaga yang konsisten untuk menjalankan visi misinya secara berkelanjutan
tidak banyak. Terkadang di tengah jalan muncul aral melintang yang lantas
membuat sejumlah instansi zakat melenceng dari tujuan aslinya atau bahkan
mandeg begitu saja karena faktor inkosistensi.
c. Macam-Macam
Zakat
Dengan beragamnya pekerjaan yang tersedia di Indonesia,
tentu pengenaan zakat yang diterima berbeda-beda takarannya. Menurut Adiwarman
A. Karim (Jurnal Ekonomi Syari’ah:6, 2001) Ada beberapa macam zakat yang
potensial jika benar-benar diterapkan:
1.
Zakat
Peternakan
Zakat
peternakan dikenakan tingkat yang regresif atau semakin banyak maka semakin
rendah tingkat zakatnya. Mengapa begitu? Karena dengan pengenaan seperti ini
maka akan membuat biaya produksi lebih murah. Lantas hal ini berujung pada
tersedianya ternak yang dijual di pasaran jadi lebih murah. Dan dengan murahnya
harga ternak, maka Indonesia bisa pelan-pelan meninggalkan sektor impor ternak
dengan swasembada ternak sendiri.
2.
Zakat
Perdagangan
Zakat
perdagangan ini dikenakan berdasarkan keuntungan yang diperoleh. Semakin besar
keuntungan maka semakin besar zakat yang dibayarkan. Bukan berdasarkan harga
jual yang dapat mempengaruhi penawaran barang dan jasa di pasaran, juga tidak
menaikkan harga jual (tidak mempengaruhi kurva penawaran)..
3.
Zakat
Pertanian/Lahan
Zakat
pertanian dikenakan berdasarkan produktivitas lahan tani itu, bukan berdasarkan
zoning. Jadi setiap orang yang
berprofesi sebagai petani akan masih bisa berproduksi meski usahanya tidak
begitu produktif. Sehingga tak ada lagi cerita petani yang termarjinalkan
karena terkalahkan oleh pengusaha yang bermodal besar.
Dari
ketiga hal di atas, hendaknya mampu menjadikan perekonomian Indonesia—terutama
sektor riil—bergairah. Karena sesungguhnya keadilan bukan terletak pada harus
sama-rata atau sama-rasa antar setiap penduduk, namun lebih dari itu, keadilan
merupakan pemenuhan hak-hak seseorang untuk bisa hidup sejahtera dan damai
secara bersama-sama.
2. Optimalisasi
Distribusi Pendapatan dengan Zakat
“Melalui
zakat juga terjalin kedamaian masyarakat dengan bersatunya hati mereka.” (Muhammad
Shalih al-Utsaimin, 2008:48). Dari sini terlihat bahwa orang miskin dan orang
kaya akan dapat bersatu hatinya ketika si Kaya memberikan dengan ikhlas
zakatnya kepada si Miskin. Realitanya, kini di Indonesia sebagian besar
orang-orang yang bergelimangan dengan hartanya justru enggan menyentuh ranah
yang berbau-bau agama, dari situ maka pengetahuannya tentang norma dan nilai
agama macam zakat otomatis tak akan ada. Dan dengan begitu maka muncullah sifat
tamak dan acuh tak acuh terhadap orang-orang miskin yang semestinya ia zakati. Padahal
sesungguhnya terdapat sebagian hak orang lain pada harta yang kita miliki, tak
semua harta kita yang kita miliki itu milik kita.
Selain
itu, lewat zakat juga bisa menjalin rasa perdamaian antar-masyarakat. Maraknya
kegiatan kriminal saat ini salah satu faktornya adalah karena dilatarbelakangi
oleh motif ekonomi. Orang yang merasa harus memenuhi kebutuhannya sementara
hatinya tak kuat menahan diri, maka akan memperolehnya lewat jalan pintas.
Kemudian menghalalkan segala cara walaupun bertentangan dengan norma agama dan
masyarakat. Hingga yang terjadi kini adalah perampokan yang dilakukan komplotan
bersenjata, pembunuhan pembantu rumah tangga terhadap majikannya, pembobolan
ATM oleh sekelompok orang tak dikenal, dan penjambretan uang dan perhiasan di
jalan raya.
Sesungguhnya berbagai sistem ekonomi memiliki kepedulian
tentang problematika distribusi dengan menilainya sebagai problematika ekonomi
paling riskan dan menonjol yang dialami oleh berbagai masyarakat dulu dan
sekarang, di timur maupun barat, dan menilai problematika distribusi sebagai
cabang dari problematika ekonomi, bahkan sebagai sebab terpenting, jika bukan
satu-satunya sebab. (DR. Jaribah bin Ahmad, 2006:212)
Tak
dipungkiri lagi, distribusi merupakan masalah utama yang dihadapi oleh setiap
bangsa, tak terkecuali Indonesia. Oleh karena itu, setidaknya dengan segala
kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia, semua kebijakan yang
dikeluarkan haruslah bercermin pada pendistribusian pendapatan secara adil dan
merata.
Dengan mengundang-undangkan zakat
sebagai peraturan tetap, kemudian mendukung peran serta setiap lembaga/instansi
zakat yang bertugas menghimpun dana zakat dari masyarakat, maka hal ini seolah
akan menjadi oase yang menyegarkan di tengah “padang pasir” kemiskinan yang
diderita rakyat kecil Indonesia.
Akhirnya, semoga semua elemen yang
terlibat di dalam perekonomian Indonesia mampu menyikapi pendistribusian
pendapatan lewat zakat sebagai langkah konkret untuk solusi mengentaskan
kemsikinan yang telah lama mendera negeri ini, dan mampu menumbuh-suburkan
jalinan cinta kasih antar sesama manusia sehingga melahirkan tatanan hidup yang
damai, bersatu, dan saling menghormati.
(Achmad Afif Hajid Nasrullah, born in Boardbehind city,Borneo, 26th April '93. Now live in Unlucky city, Java.)
Daftar Pustaka
Bin
Ahmad Al-Haritsi, Jaribah. 2006. Fikih
Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Grup).
Karim,
Adiwarman A. 2001. Solusi Total Krisis Multidimensional. Jurnal Ekonomi Syari’ah, 1 (1):6-7.
Purwakananta,
M. Arifin dkk. 2008. Gerakan Zakat untuk
Indonesia. Jakarta: KB Press & Dompet Dhuafa.
Shalih
al-Utsaimin, Muhammad. 2008. Ensiklopedi
Zakat : Kumpulan Fatwa Zakat Syaikh Muhammad al-Utsaimin. Jakarta: Pustaka
as-Sunnah.
No comments:
Post a Comment